TUGAS METIL
STUDI PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN UDANG BARONG (Panalirus sp.) MENGGUNAKAN BUBU DASAR
DAN JARING INSANG DI PERAIRAN JEPARA
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Di Indonesia udang barong termasuk salah satu
komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Udang barong memiliki nilai ekonomis
lebih tinggi apabila diekspor dalam kondisi hidup dan dengan mutu yang baik,
tanpa ada bagian tubuh yang rusak atau terluka. Nilai ekonomis udang barong
berkisar antara Rp. 40.000,00 hingga Rp. 250.000,00. Potensi udang barong di
perairan Indonesia, yaitu sebesar 4.800 ton per tahun. Sementara itu di Samudra
Hindia sebesar 1.600 ton per tahun dengan produksi sebesar 710 ton per tahun
dan tingkat pemanfaatan sebesar 44,38% (Dept. Eksplorasi Laut dan Perikanan dalam Hudayati, 2006).
Peningkatan produksi
perikanan tangkap dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah armada perikanan
menurut jenis kapal dan alat tangkap, seperti long line (rawai), pole and
line (huhate), purse sheine
(pukat cincin), pancing lain dan alat tangkap lainnya dapat dilakukan
peningkatan produksi ikan dilakukan dengan peningkatan produktivitas alat
tangkap dengan pengembangan alat bantu rumpon (Fish attracting device) dan penambahan unit penangkapan lainnya
(Dahuri, 2002).
Menurut Hestirianoo (1985) dalam Hudayati (2006), alat tangkap
udang barong yang paling baik adalah bubu karena hasil tangkapan udang barong
memiliki bagian tubuh yang lengkap tanpa luka dan cidera. Bentuk bubu sangat
beragam, ada yang berbentuk segiempat, trapesium, silinder, atau bentuk lainnyA.
Alat tangkap bubu bersifat pasif, sehingga ditambahkan umpan untuk menarik perhatian
udang barong. Umpan yang digunakan berbeda-beda jenisnya pada setiap daerah.
1.2.
Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Alat tangkap apa sering digunakan oleh
nelayan untuk menangkap Udang Barong di perairan Jepara ?
2.
Alat tangkap apa yang paling efektif
digunakan untuk menangkap udang barong
di perairan Jepara ?
1.3.
Tujuan
Tujuan dalam penelitian adalah sebagai
berikut:
1.
Mengetahui alat tangkap yang swring
digunakan oleh nelayan di perairan Jepara untuk menangkap udang barong;
2.
Mengetahui alat tangkap yang paling
efektif untuk menangkap udang barong di perairan Jepara.
1.4.Manfaat
Manfaat yang
diperoleh dari penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai bahan masukan dalam pengembangan peikanan udang barong di
Indonesia
2.
Sumber informasi untuk pihak yang
membutuhkan, terutama nelayan udang barong.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Gill Net
Gill net sering diterjemahkan dengan jaring insang, jaring rahang, jaring
dan lain-lain. Istilah gill net
didasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap gill net
terjerat disekitar operculumnya pada
mata jaring. Dalam bahasa jepang, gill
net disebut dengan istilah sasi-ami, yang berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill
net, ialah dengan proses dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut menusukkan
diri pada jaring. Di Indonesia, penamaan gill
net ini beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang
tertangkap (jaring koro, jaring udang, dan sebagainya), ada pula yang disertai
dengan nama tempat (jaring udang Bayeman), dan sebagainya (Ayodhyoa, 1981).
Pada
umumnya, yang disebutkan dengan gill net
ialah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang
sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan
panjangnya. Jaring insang yang dioperasikan pada perairan dangkal untuk
menangkap ikan pelagis seperti ikan kembung, ikan tongkol, ikan tenggiri dan
ikan cakalang, sedangkan pada perairan yang lebih dalam untuk menangkap ikan demersal yang dioperasikan di atas dasar
laut (Hadian, 2005).
Menurut
Walus (2001), umumnya gill net
dioperasikan dalam rangkaian yang panjang hingga mencapai 3.000 – 4.000 meter,
kadangkala dioperasikan secara terhanyut bersama–sama kapalnya atau ditetapkan
kedudukannya dengan bantuan jangkar membentang sepanjang dasar perairan maupun
pada kedalaman tertentu.
2.2. Klasifikasi Gill Net
Menurut
Martasuganda (2002), jaring insang dapat diklasifikasikan berdasarkan metode
pengoperasiannya menjadi lima jenis, yaitu :
1.
Jaring insang tetap (fixed
gill net atau set gill net);
2.
Jaring insang hanyut (drift
gill net);
3.
Jaring insang lingkar (encircling
gill net);
4.
Jaring insang giring (frightening
gill net atau drive gill net); dan
5.
Jaring insang sapu (rowed
gill net).
Menurut Walus (2001), berdasarkan lapisan jaring yang
membentuk dinding jaring dibedakan menjadi jaring insang berdinding tunggal dan
berdinding tiga (trammel net), sedangkan berdasarkan lapisan kedalaman
air tempat dioperasikannya alat ini dapat dibedakan menjadi jaring insang
permukaan (surface gill net), jaring insang lapisan air tengah (midwater
gill net), dan jaring insang dasar (bottom gill net).
Menurut
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia (2005), jaring insang
dibedakan menjadi:
1.
Jaring insang hanyut (drift
gill net), dimana jaring ini dipasang dengan cara terbentang dan
dihanyutkan untuk menghadap sekumpulan ikan;
2.
Jaring insang lingkar (encircling
gill net), dimana jaring ini dipasang melingkari sekumpulan ikan dan saat
ikan bergerak ke segala arah maka akan terjerat pada jaring;
3.
Jaring insang tetap (set
gill net), dimana jaring insang ini umumnya dipasang dengan menggunakan
pemberat atau diikatkan pada sesuatu hingga tidak hanyut terbawa arus;
4.
Jaring klitik (shrimp
entangling gill net), dimana jaring insang ini pada umumnya dipasang pada
daerah dasar perairan umumnya menangkap ikan demersal dan udang; dan
5.
Jaring tiga lapis (trammel
net), dimana jaring insang yang terdiri dari beberapa lapisan jaring agar
ikan yang terjerat tidak mudah lepas kembali.
Menurut Ayodhyoa (1981), berdasarkan tempat kedudukannya
pada fishing ground , gill net dibedakan menjadi empat yaitu :
a.
Surface gill
net
Pada surface
gill net salah satu atau kedua ujung
jaring diikatkan pada tali jangkar sehingga posisi jaring menjadi tertentu oleh
letak jangkar. Beberapa piece
digabung menjadi satu dan jumlah piece
harus disesuaikan dengan daerah penangkapan. Tali pelampung dan tali ris atas
akan berada di permukaan air, sehingga arah rentangan dengan arah arus dapat
terlihat.
b.
Bottom gill
net
Pada alat tangkap bottom gill net kedua
ujung jaring diletakkan jangkar sehingga letak jaring akan tertentu. Jaring direntangkan dekat pada dasar
perairan, maka jaring ini dinamakan bottom
gill net. Jenis ikan yang menjadi
tujuan penangkapan ikan adalah ikan demersal.
Posisi jaring dapat diperkirakan pada pelampung berbendera yang diletakkan pada
kedua ujung jaring, tetapi tidak dapat mengetahui keadaan baik buruknya
rentangan jaring di dalam laut. Pada umumnya yang menjadi daerah penangkapan
adalah daerah pantai, teluk dan muara.
c.
Drift gill
net
Pada jaring drift gill net posisi
jaring tidak ditentukan oleh adanya jangkar tetapi jaring bergerak hanyut bebas
mengikuti arah gerak arus. Pada salah satu ujung jaring diikatkan tali yang
dihubungkan dengan kapal sehingga gerakan hanyut kapal akan dapat mengetahui
posisi jaring. Selain gaya dari atas dan gelombang, kekuatan angin juga akan
mempengaruhi posisi jaring di perairan.
d.
Encircling gill
net
Jaring ini merupakan jenis gill net yang dioperasikan dengan cara melingkarkannya
pada gerombolan ikan.
Klasifikasi menurut Nedelec (2000), berdasarkan metode
pengoperasiaannnya jaring insang dapat dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a.
Jaring insang tetap (fixed gill net
atau set gill net)
Jaring
insang tetap adalah jaring insang yang cara pengoperasiannya diset atau
dipasang secara menetap di daerah penangkapan (fishing ground), baik dipasang secara menetap dibagian permukaan,
kolom perairan atau di dasar perairan. Jaring insang yang diset di bagian
permukaan disebut dengan jaring tetap permukaan (surface set gill net), yang diset di kolom perairan disebut jaring
insang tetap kolom perairan (mid water
set gill net) dan yang diset di dasar perairan disebut jaring insang tetap
dasar (bottom set gill net).
b.
Jaring insang hanyut (drift gill net)
Jaring
insang hanyut adalah jaring insang yang cara pengoperasiaannya dibiarkan hanyut
di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian permukaan, kolom perairan atau di
dasar perairan. Jaring insang yang dihanyutkan di bagian permukaan disebut dengan
jaring insang hanyut permukaan (surface
drift gill net), yang dihanyutkan di kolom perairan disebut jaring insang
hanyut kolom perairan (mid water drift
gill net) dan yang dihanyutkan di dasar perairan disebut dengan jaring
insang hanyut dasar (bottom drift gill
net).
c.
Jaring insang lingkar (encircling
gill net)
Jaring
insang lingkar umumnya dioperasikan di perairan pantai yang tidak begitu dalam
atau di perairan yang kedalamannya tidak melebihi dari tinggi jaring yang
dioperasikan. Setting dilakukan siang
hari atau malam hari dengan mempergunakan alat bantu light fishing, tetapi umumnya dilakukan pada siang hari dengan satu
kapal atau lebih.
d.
Jaring insang giring (frightening
gill net atau drive gill net)
Jaring
insang giring, umumnya dioperasikan di perairan pantai yang tidak bagitu dalam.
Setting dari jaring insang giring
umumnya dilakukan pada siang hari dengan satu kapal atau dua kapal.
e.
Jaring insang sapu (rowed gill net)
Jaring
insang sapu umumnya dioperasikan di perairan pantai yang dasar perairannya
berpasir atau berlumpur atau campuaran dari keduanya. Jaring insang sapu
umumnya ditujukan untuk menangkap udang dan ikan dasar. Kontruksi dari jaring
insang sapu umumnya terdiri dari tiga lembar. Pengoperasiaan jaring insang sapu
umumnya dilakukan pada siang hari dengan mengunakan satu perahu.
Klasifikasi
gill net menurut A. Von Brandt
(1984), merupakan gilled gear karena
pada umumnya ikan yang tertangkap pada bagian tutup insangnya dalam usaha
mereka untuk melewati jaring. Syarat yang harus dipenuhi agar ikan-ikan
tertangkap secara terjerat (gilled)
pada tubuh jaring, maka bahan yang dipergunakan sebagai berikut:
1.
Benang yang dipergunakan
hendaknya yang lembut, mempunyai visibilitas yang rendah dengan ukuran mata
jaring yang homogen, dan tidak kaku terutama bagian yang ditujukan untuk ikan
yang tertangkap secara terbelit;
2.
Ukuran mata jaring
disesuaikan dengan besar badan ikan baik tinggi maupun diameter tubuh ikan
sasaran; dan
3.
Kekuatan rentangan dari
tubuh jaring tergantung dan berhubungan dengan jumlah ikan yang tertangkap,
terutama terpuntal. Kekuatan rentangan tubuh jaring ditentukan oleh bouyancy dari pelampung, berat tubuh
jaring, tali-temali, dan sinking force
dari pemberat.
Warna jaring juga mempengaruhi hasil tangkapan dan pada umumnya
dipilih jenis warna yang tidak dapat terlihat oleh ikan pada saat jaring
terpasang. Alat tangkap gill net yang
digunakan dalam praktikum metode penangkapan ikan merupakan jenis jaring insang
hanyut permukaan karena cara pengoperasiannya dibiarkan tenggelam di perairan (bottom drift gill net).
2.3. Konstruksi Gill Net
Menurut
Sadhori (1985), konstruksi dari gill net
adalah:
a.
Jaring utama atau webbing
Jaring utama merupakan sebuah lembaran yang
tergantung pada tali ris atas.
b.
Tali ris atas
Tempat untuk menggantungkan jaring utama dan
tali pelampung.
c.
Tali ris bawah
Berfungsi untuk tempat melekatnya pemberat.
d.
Tali pelampung
Tali pelampung terentang panjangnya dari tempat pemasangan
pelampung, kedudukan alat dipasang sampai permukaan laut.
e.
Pelampung
Berfungsi untuk mengangkat tali ris atas dan
menempatkan gill net di lapisan
perairan yang dikehendaki.
f.
Pemberat
Pemberat berfungsi untuk menenggelamkan alat atau bagian dari
alat.
g.
Tali selambar
Tali
selambar terdiri dari tali selambar depan dan belakang. Tali selambar depan berfungsi
untuk mengikatkan ujung gill net
dengan pelampung tanda, tali selambar belakang selain untuk mengikatkan ujung gill net dengan pelampung tanda,
kadang–kadang juga untuk mengikatkan gill
net tersebut dengan kapal.
2.4 Metode
pengoperasian gill net
Menurut Sadhori (1985), cara
pengoperasian gill net adalah:
1.
Kapal dengan alat tangkap gill net
menuju fishing ground;
2.
Penurunan alat tangkap gill net (setting);
3.
Kegiatan perendaman alat tangkap gill
net (immersing); dan
4. Kegiatan penarikan alat tangkap gill net (hauling).
Menurut Waluyo (1988), yang menyatakan
bahwa dilihat dari cara pengoperasiannya gill net dapat dibagi ke dalam 5 kelompok antara lain :
1.
Jaring Insang Hanyut (drift gill net)
Pengoperasiannya dengan dihanyutkan
mengikuti atau searah dengan jalannya arus. Daerah operasinya bisa didasar
(contoh: jaring rampus) maupun dibawah lapisan permukaan air (jaring kambang,
soma antoni).
2. Jaring
Insang Labuh (set gill net)
Pengoperasiannya dilabuhkan (diset)
didasar, lapisan tengah maupun di bawah lapisan atas, tergantung dari atau
melalui tali yang menghubungkan pelampung dengan pemberat.
3. Jaring Insang Karang (coral reef gill
net)
Jaring ini terutama dipergunakan untuk
menangkap udang karang (udang barong, spiny lobster). Jaring insang karang
tidak dilengkapi dengan tali ris bawah namun ada juga yang menggunakan tali ris
bawah.
4. Jaring
Insang Lingkar (encirling gill net)
Pengoperasiannya dengan cara dilingkarkan
pada sasaran tertentu yaitu kawanan ikan yang sebelumnya dikumpulkan melalui
alat bantu sinar lampu. Setelah kawanan ikan terkurung kemudian dikejutkan
dengan suara dengan cara memukul-mukul bagian perahu, karena terkejut ikan-ikan
tersebut akan bercerai-berai dan akhirnya tersangkut karena melanggar mata
jaring.
5. Jaring Insang
Permukaan (surface gill net)
Pada salah satu ujung jaring ataupun pada
kedua ujungnya diikatkan tali jangkar, sehingga letak(posisi) jaring jadi
tertentu oleh letak jangkar. Beberapa piece digabungkan menjadi satu,
dan jumlah piece harus disesuaikan dengan keadaan fishing ground.
Float line (tali pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air
(sea surface). Dengan begitu arah rentangan dengan arah arus, angin dan
sebagainya akan dapat terlihat.
2.5. Pengertian
bubu dasar
Bubu dasar adalah perangkap yang mempunyai satu atau
dua pintu masuk dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah,
dengan atau tanpa perahu. Bubu dasar adalah alat tangkap yang sangat efektif
untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik laut
maupun danau (Rumajar, 2002).
Bubu Dasar (Ground Fish Pots) adalah bubu yang daerah operasionalnya berada di
dasar perairan. Bubu dasar terbuat dari bahan kayu atau rotan yang dipasang
secara tetap di dasar perairan selama
jangka waktu tertentu. Bubu
dasar dipasang di daerah perairan karang atau diantara karang-karang atau
bebatuan. Bubu dasar dilengkapi dengan pelampung yang dihubungkan dengan tali
panjang (Balai Penelitian Perikanan Laut, 1989).
2.6. Klasifikasi
bubu dasar
Menurut A Von Brant
(1984), klasifikasi berdasarkan sifatnya bubu dasar merupakan ruangan yang
dapat terlihat ketika ikan masuk (watched
chambers) berbentuk perangkap kotak (box
trap) dan pada umumnya terbuat dari bahan kayu atau rotan. Bubu
dasar semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya dan menyulitkan
ikan untuk keluar, alat ini sering diberi nama fishing pots atau fising basket.
2.7. Kontruksi bubu dasar
a. kontruksi bubu dasar
Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), kontruksi alat tangkap
bubu adalah sebagai berikut :
1.
Badan atau tubuh bubu
Badan
atau tubuh bubu umumnya terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk empat persegi
panjang dengan panjang 125 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 40 cm. Bagian ini
dilengkapi pemberat dari batu bata (bisa juga pemberat lain) yang berfungsi
untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan yang terletak pada keempat sudut
bubu.
2.
Lubang tempat mengeluarkan hasil
tangkapan
Lubang
tempat mengeluarkan hasil tangkapan terletak pada sisi bagian bawah bubu.
Lubang ini berdiameter 35 cm, posisinya tepat dibelakang mulut bubu. Lubang ini
dilengkapi dengan penutup.
3. Mulut
bubu
Mulut bubu berfungsi untuk tempat masuknya ikan yang
terletak pada bagian depan bubu. Posisi mulut bubu menjorok ke dalam badan atau
tubuh bubu berbentuk silinder. Tubuh bubu semakin ke dalam diameternya semakin
mengecil. Bagian mulut yang bagian dalam melengkung ke bawah sepanjang 15 cm.
Lengkungan ini berfungsi agar ikan yang masuk sulit untuk meloloskan diri
keluar.
2.8.
Gambar
Konstruksi Bubu Dasar










Gambar 42. Konstruksi alat tangkap bubu dasar
Keterangan :
1.
Mulut
tempat mengeluarkan ikan
2.
Mulut
tempat masuk ikan
3.
Tempat umpan
4.
Kerangka
bubu
5.
Pemberat
6.
Jaring
7.
Tali
untuk pelampung
2.9. Metode pengoperasian bubu dasar
Menurut Barus (1987) dalam Nugroho (2004), sebelum alat tangkap bubu
lipat dimasukkan kedalam perairan maka terlebih dahulu dilakukan penentuan
daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan tersebut didasarkan pada
tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan demersal, rajungan, udang, dan
lain-lain yang biasanya
ditandai dengan banyaknya terumbu karang atau pengalaman nelayan. Umumnya bubu dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu
pemasangan satu bubu satu tali pelampung (single trap) dan beberapa bubu
dirangkai menjadi satu dengan menggunakan satu tali utama.
Menurut BPPI (1999),
alat tangkap bubu lebih cocok dioperasikan di perairan dangkal, berkarang dan
berpasir dengan keadalaman 2-7 m karena umumnya terbuat dari bambu. Bubu
diletakkan pada celah karang untuk menghadang ikan yang keluar dari celah
karang clan posisi mulutnya harus menghadap ke hilir mudik ikan yang berada di
perairan karang.Sebelum alat tangkap bubu dimasukkan kedalam perairan maka
terlebih dahulu dilakukan penentuan daerah penangkapan. Penentuan daerah
penangkapan tersebut didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat
ikan demersal, yang biasanya ditandai dengan banyaknya terumbu karang atau
pengalaman nelayan.
Menurut Barus (1987) dalam
Nugroho (2004), pada umumnya bubu dapat dioperasikan dengan dua cara yaitu
pemasangan satu bubu satu tali pelampung (single trap) dan beberapa bubu
dirangkai menjadi satu dengan menggunakan satu tali utama. Kedua metode
pengoperasian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode
pengoperasian bubu dapat disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan nelayan
yang melakukan penangkapan. Bubu dasar relatif mudah digunakan karena proses
immersing hanya menunggu untuk mendapatkan hasil tangkapan, sementara itu
nelayan dapat beroperasi dengan alat tangkap yang lain. Hal ini memberikan
keuntungan bagi nelayan untuk efisiensi waktu penangkapan sehingga hasil yang
diperoleh akan lebih maksimal.
Menurut Martasuganda
(2003), bubu sendiri
dalam operasionalnya untuk laut dalam (bubu dasar) sering dipakai benda berupa
umpan untuk menarik perhatian ataupun dilepas tanpa menggunakan umpan. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan
karang dan udang terperangkap pada bubu. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah tertarik oleh bau umpan, dipakai untuk tempat berlindung, sebagai tempat
istirahat sewaktu ikan bermigrasi dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu
sendiri.
Waktu pemasangan (setting) dan
pengangkatan (hauling) ada yang dilakukan pagi hari, siang hari, sore hari,
sebelum matahari tenggelam. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya
direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam
tiga sampai dengan empat hari.
Menurut Martasuganda (2002), waktu pemasangan (setting) dan pengangkatan
(hauling)
ada yang dilakukan pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum
matahari tenggelam. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam
beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam tiga sampai
dengan empat hari.
2.10. Udang
Barong
Pada dunia perikanan
terdapat empat famili lobster yang termasuk ke dalam ordo Decapoda. Menurut Purnomo diacu dalam Anyanawati (1994) dalam
Hudayati (2006), klasifikasi lobster adalah sebagai berikut:
Phylum :
Arthropoda
Class :
Crustacea
Ordo :
Decapoda
Famili :
1. Lobster besar (True lobster, Homaridae)
2.
Udang barong (Spiny lobster, Panuliridae)
3.
Udang Watang (Cray fish, Astacidae)
4. Udang pasir (Spanish
lobster, Scyllaridae)
Penangkapan udang barong memerlukan
alat yang tidak menyulitkan, mudah digunakan agar tidak melukai nelayan
penangkap dan merusak tubuh udang barong. Hal ini dikarenakan tubuh udang
barong memiliki banyak duri-duri tajam di sekitar kepalanya. Menurut Subhani
(1981) diacu dalam Adnynawati (1994) dalam Hudayanti (2006), bahwa udang barong biasanya ditangkap dengan
menggunakan tipe bubu khusus berbentuk silindris dan bubu bulat setengah
lingkaran dengan mulut di tengah atas.
2.11.
Daerah Penangkapan Udang Barong
Udang Barong memiliki
habitat yang berbeda-beda. Menurut George (1997) dalam Hudayanti (2006),
pengaruh dari pergerakan lempeng tektonik , perubahan pada iklim dan gelombang
laut mempengaruhi pergerakan larva dan perubahan karakteristik habitat sehingga
menyebabkan perbedaan genetika dan ciri
khas tertentu pada Panuliridae.
Panulirus humarus atau lobster hijau
berpasir hidup di perairan dangkal hingga kedalaman beberapa belas meter dan
tinggal dalam lubang batuan. Jenis ini toleran terhadap perairan keruh dan
menyukai perairan bergelombang serta mengalami turbulensi. Faktor ekologi yang
mempengaruhi penyebaran jenis ini adalah kekeruhan dan turbulensi. Pada
beberapa tempat di Indonesia udang barong jenis ini banyak ditemukan di
perairan Jawa Barat bagian selatan dan barat, selatan Jawa, perairan Timur
Flores, Utara Timor, perairan Sulawesi dan antai barat Sumatera.
III. METODOLOGI
3.1. Materi
Alat dan bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah perawai antara lain: pancing, tali
utama, tali cabang, pelampung, pemberat dan alat tulis yang berguna untuk
mencatat data, kuisioner sebagai acuan dalam pemgambilan data responden, dan
kamera yang digunakan sebagai alat dokumentasi. antara lain adalah data
responden sebagai data primer.
3.2. Metode Pengambilan Data
Metode
yang dilakukan dalam proses pengambilan data pada penelitian adalah pengumpulan
data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat secara
langsung dari responden. Data primer terdiri dari data kualitatif maupun data
kuantitatif yang dilakukan dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang terpola dan data sekunder merupakan data
yang tidak dapat secara langsung.
3.3. Uji Statistik
Diduga dengan adanya pengujian umpan
modifikasi ini akan memberikan pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan yang
diperoleh dibandingkan terhadap alat tangkap yang digunakan, yang dinyatakan dengan :
1.
Hipotesis penelitian
Hipotesis mengenai perbedaan jenis alat tangkap terhadap hasil tangkapan
Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan udang barong
dengan menggunakan jaring insang
dibandingkan dengan hasil tangkapan menggunakan bubu dasar
H1 : Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil tangkapan udang barong
dengan menggunakan jaring insang
dibandingkan dengan hasil tangkapan menggunakan bubu dasar
2.
Pengujian satu sisi
Kaidah pengambilan keputusan secara
sistematis dengan uji F:
Fhitung <Ftabel (0.05)… Trima
H0/tolak H1
Fhitung
>Ftabel (0.05)… Trima H1/tolak H0
DAFTAR PUSTAKA
Hudayanti, Dwi.
2006. Studi Tingkah Laku Udng Barung (Panalirus Humarus) memasuki bubu.
Institut Pertanian Bogor: Bogor
Martasuganda.
S. 2002. Jaring Insang (Gillnet). Serial Teknologi Penangkapan Ikan Berwawasan
Lingkungan ISBN 979-96923-0-X. Terbitan oleh Jurusan PSP. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB 65 hal. '
Teknologi Penangkapan lkan Berwawasan Lingkungan ISBN 979-96923- ~ ~ 0-X.
Terbitan oleh Jurusan PSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan 1PB 65 hal.
Sadhori. 1985. Tenik Penangkapan Ikan.
Angkasa, Bandung.
Sudirman dan A.
Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Von
Brant, A. 1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing News Books
Ltd. Farnham Surrey, England. 166 p.
Komentar
Posting Komentar